Add caption |
Beberapa waktu yang lalu, saya tergelitik dengan postingan seorang teman di Facebook. Ia mengunggah foto tikus abu-abu di dalam kurungan, dengan caption sebagai berikut:
Artikel ini tidak ditujukan sebagai apologetika kontra-Buddhisme, juga untuk tidak menyerang pribadi, tetapi artikel ini merupakan tanggapan terhadap bagian kedua dari postingan tersebut, yaitu“lebih lucu lagi lihat teman-teman saya membeli hewan di pasar lalu di lepaskan ke sungai atau alam bebas, tapi sesudah itu masih memotong hewan lain untuk dijadikan bahan makanan.”
Pernyataan ini tak urung membuat saya merenung. Mungkin anda juga suka mengunjungi tempat-tempat pembiakan hewan—pembiakan penyu, misalnya—untuk kemudian membeli dan melepaskan hewannya ke laut. Atau mungkin, saat anda ke pasar dan melihat burung-burung kecil dijual dalam sangkar sebagai “mainan”, anda tersentuh dan kemudian anda membeli beberapa untuk dilepaskan. Malahan, mungkin saja anda aktif dalam sebuah organisasi pecinta lingkungan, seperti Greenpeace atau World Wildlife Fund.
Lantas kemudian anda bertanya-tanya kepada diri sendiri: kalau saya melakukan itu semua namun saya tetap makan daging hewan, apakah saya ini munafik? Apakah mencintai alam atau lingkungan berarti mengharuskan saya menjadi vegetarian? Apakah makan daging hewan berarti “tidak mencintai atau melindungi kehidupan”?
Kemudian yang terpenting: apakah gaya hidup vegetarian sejalan atau justru dilarang oleh Gereja Katolik?
Bagi mereka yang memerlukan jawaban singkat: Gereja Katolik tidak mendukung dan tidak melarang gaya hidup vegetarian. Jadi, sah-sah saja bagi seorang Katolik untuk mempraktekkan vegetarianisme.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum anda memutuskan untuk menjadi vegetarian. Kita perlu mempelajari terlebih dahulu asal-usul dan pemikiran-pemikiran yang mendasari gaya hidup yang satu ini, sebab tidak semuanya sesuai dengan ajaran Katolik.
Sejarah Vegetarianisme
Gaya hidup vegetarian memiliki sejarah yang amat panjang. Berdasarkan informasi dari Vegetarian Society [1], vegetarianisme sudah dipraktekkan oleh bangsa Babilonia dan Mesir Kuno sekitar tahun 3200 SM. Beberapa filsuf Yunani Kuno seperti Pythagoras (580 SM), yang terkenal dengan kontribusinya dalam bidang matematika, juga mempraktekkan gaya hidup ini.
Pola makan pantang hewan tidak urung menimbulkan perdebatan mengenai konsep jiwa atau roh dalam hewan. Topik ini dibahas oleh filsuf-filsuf besar seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles, dengan Aristoteles menyimpulkan bahwa keberadaan hewan adalah demi umat manusia. Bangsa Romawi Kuno menggunakan pemikiran Aristoteles ini ke dalam bentuk yang ekstrem di mana hewan liar disiksa dan dibunuh oleh para gladiator dalam rangka hiburan dan olahraga.
Vegetarianisme dalam agama-agama non-Abrahamik
Pantang makan daging atau daging tertentu merupakan ajaran penting dalam kepercayaan non-Abrahamik, seperti Hinduisme, Zoroastrianisme, Jainisme, dan Buddhisme.
Bagi penganut Zoroastrian, kebiasaan makan daging merupakan bentuk kejatuhan manusia dari keadaan rohaninya yang agung, sehingga berpantang darinya akan menghasilkan umur panjang dan kemurnian spiritual.[2]
Kaum Jain, selain berpantang ketat dari daging, juga amat berhati-hati dalam memilih tanaman untuk dimakan: contohnya, mereka tidak menyantap umbi-umbian atau akar-akaran (sayuran yang tumbuh di dalam tanah) dan hanya memakan buah yang sudah jatuh dengan sendirinya (tidak dipetik). Sayuran tertentu yang teksturnya memungkinkan hewan-hewan kecil terperangkap, seperti brokoli dan kembang kol, juga tidak disantap. Kebiasaan Jain ini berakar dari prinsip non-kekerasan termasuk pada hewan dan tanaman, juga kepercayaan bahwa semua makhluk hidup adalah kudus, memiliki jiwa, dan dapat merasakan nyeri.[3][4]
Hinduisme memiliki beberapa aliran yang bervariasi dalam praktek pola makannya. Secara umum, vegetarianisme amat disarankan, namun bukan syarat untuk menjadi seorang Hindu. Sebagian besar orang Hindu di India memilih untuk menjalani gaya hidup vegetarian, didasari oleh prinsip non-kekerasan bagi semua makhluk yang mirip dengan ajaran Jainisme. Dalam epos Mahabharata, Bhisma menjelaskan kepada Yudhistira bahwa “daging hewan adalah seperti daging anak sendiri, sehingga orang bodoh yang menyantapnya harus dianggap sebagai manusia paling kejam.”[5]
Vegetarianisme juga merupakan ajaran sentral dalam kepercayaan Buddhisme, yang—seperti kepercayaan Hindu dan Jainisme—mengusung prinsip non-kekerasan bagi seluruh makhluk hidup. Pada masa hidupnya, Buddha (Siddharta Gautama) menentang penjagalan hewan dan ia sendiri tidak menyantap daging hewan. Saat ini, komunitas umat Buddhis terbagi ke dalam beberapa sekte yang pro dan kontra mengenai praktek vegetarianisme. Contohnya, Buddha Theravada memperbolehkan rahib-rahibnya mengonsumsi daging babi, daging ayam, dan ikan, sementara Buddha Mahayana mengajarkan praktek vegetarianisme total.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa baik Jainisme, Hinduisme, maupun Buddhisme mengajarkan karma, dan ini mendasari filosofi dan pemikiran religius mereka. Ajaran tentang non-kekerasan terhadap semua makhluk hidup berkaitan erat dengan karma dan reinkarnasi, yang mana amat bertentangan dengan Iman Katolik.
Konsumsi Daging menurut Kitab Suci dan Katekismus
Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa Allah menghendaki manusia berkuasa atas bumi dan segala isinya (bdk. Kej 1:26, 28), sebab manusia diciptakan-Nya seturut citra-Nya sendiri (bdk. KGK #2417). Akan tetapi, aturan mengenai makanan itu sendiri berkembang seiring waktu.
Dalam Kejadian 1:29-30, Allah memberikan tumbuh-tumbuhan sebagai makanan bagi manusia dan hewan. Namun dalam Kejadian 9, yaitu setelah surutnya air bah, Allah berfirman kepada Nuh: “Akan takut dan akan gentar kepadamu segala binatang di bumi dan segala burung di udara, segala yang bergerak di muka bumi dan segala ikan di laut; ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan. Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau.” (Kej 9:2-3)
Jadi, dalam Kejadian 9 di atas kita melihat bahwa kini Allah menyerahkan hewan sebagai makanan bagi manusia juga.
Dalam Kitab Imamat dan Bilangan, kita menjumpai sejumlah aturan seremonial Yahudi, termasuk di antaranya aturan makan. Hukum Musa mengajarkan bahwa ada binatang yang haram dan tidak haram untuk dimakan; binatang yang haram antara lain unta, pelanduk, kelelawar, kelinci, babi hutan, binatang air yang tidak bersirip atau bersisik, tikus, katak, siput, dan lain-lain (bdk. Im 11:1-30).
Yesus, yang datang sebagai penggenapan dan pemenuhan hukum Perjanjian Lama, berfirman:
Katekismus menjelaskan perikop di atas demikian:
Sampai sini kita melihat bahwa berdasarkan Kitab Suci dan Katekismus, tidak ada lagi aturan makanan haram dan halal bagi umat Katolik. Kristus, Sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup, telah menyempurnakan Hukum Lama, yang tidak lain bertujuan sebagai persiapan untuk kedatangan Mesias yang membawa Hukum Baru.
Tetapi Bukankah Pantang Daging Juga Ada dalam Tradisi Katolik?
Ya, tradisi puasa dan pantang, terutama pantang daging, ada dan dipraktekkan secara luas oleh umat Katolik.
Kita tentunya tahu bahwa Masa Prapaskah mengharuskan pantang bagi umat Katolik yang telah genap berusia 14 tahun, dan mewajibkan puasa bagi yang berusia 18 – 60 tahun. Hukum Kanonik juga menetapkan kewajiban pantang daging setiap hari Jumat sepanjang tahun (Kan. 1251), sebab Gereja menentukan hari Jumat sebagai hari tobat. Selain itu, ada pula “puasa Ekaristik”, yaitu tidak makan atau minum apapun kecuali air dan obat-obatan yang diperlukan, selama 1 jam sebelum menyambut Tubuh dan Darah Tuhan.
Puasa dan pantang juga dapat dilakukan sebagai penitensi atau perbuatan silih yang bertujuan untuk mortifikasi diri. Dalam hal ini, puasa dan pantang yang dimaksud mencakup pula hal-hal lain selain makanan, misalnya hiburan atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak perlu. Kita mengetahui dari Kitab Suci bahwa Gereja Perdana sudah mempraktekkan puasa untuk mengawali peristiwa atau upacara-upacara gerejawi yang penting (bdk. Kis 13:2; 14:23).
Beberapa tarekat religius Katolik, terutama yang berciri monastik (pertapa) menjalani pola hidup vegetarian atau semi-vegetarian, di antaranya para rahib Kartusian, Trappist, dan beberapa komunitas Karmelit yang mengikuti Regula Santo Albertus.
Ordo Kartusian (Ordo Santo Bruno) merupakan ordo monastik yang amat ketat dan tertutup. Ordo ini didirikan oleh Santo Bruno dari Cologne pada tahun 1084. Pola makan mereka secara umum adalah vegetarian. Ikan disediakan dua kali dalam seminggu, sementara susu dan telur dikonsumsi hanya pada Hari Raya Natal dan Paskah. Jadwal makan “proper” hanya satu kali dalam sehari, namun para rahib boleh minum sedikit anggur dan menyantap beberapa potong roti keras sebelum tidur malam.
Trappist merupakan sebutan untuk Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (O.C.S.O.) atau dalam bahasa Inggris “Order of Cistercians of the Strict Observance” dan dalam bahasa Indonesia “Ordo Cisterciensis Observansi Ketat.” Sesuai dengan namanya, Ordo Trappist merupakan hasil reformasi yang lebih ketat dari Ordo Cistersian (O.Cist); keduanya mengikuti Regula Santo Benediktus. Para rahib dan rubiah Trappist menjalani pantang ketat hewan berkaki empat. Diet Trappist sehari-hari terdiri dari sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan biji-bijian; kadang-kadang ikan dapat disantap pada waktu-waktu tertentu.[6] Di Indonesia, pertapaan Trappist ada di Rawaseneng (rahib), Lamanabi (rahib), dan Gedono (rubiah).
Perlu diingat bahwa dasar dari aturan puasa dan pantang Katolik tidak sama dengan spiritualitas agama-agama Timur seperti Buddhisme dan Hinduisme. Kita berpuasa pertama-tama sebagai tanda penyangkalan diri dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib.
Selain itu, puasa dan pantang Katolik pun tidak lepas dari doa dan amal kasih, sehingga praktek puasa dan pantang menjadi latihan rohani yang mendekatkan kita kepada Allah dan sesama, bukan semata-mata untuk “menyiksa badan”, diet, berhemat, dan lain-lain, apalagi untuk menghormati hewan dan tanaman dalam tingkat yang menyamai atau hampir menyamai martabat manusia.
Bukankah Gereja Katolik Mengajarkan Kita untuk Menjaga Ciptaan? Apakah Itu Tidak Berarti Kita Harus Menjadi Vegetarian?
Betul, menjaga ciptaan (care of creation) merupakan salah satu mandat ilahi yang ditugaskan kepada umat manusia. Tetapi, menjaga ciptaan bukan berarti orang Katolik harus menjadi vegetarian. Katekismus jelas dalam hal ini:
Jadi, harus diingat bahwa segala ciptaan ada pertama-tama untuk kesejahteraan umat manusia. Manusia adalah mahkota ciptaan (crown of creation) dan dengan demikian ciptaan lainnya, yang mencakup hewan, tanaman, dan makhluk tak bernyawa ada untuk melayani manusia. Manusia, yang berkuasa atas bumi dan segala isinya, bertanggung jawab menghormati dan merawat ciptaan demi “mempertahankan kualitas hidup sesama, termasuk generasi yang akan datang.”
Katekismus melanjutkan:
Jelaslah bahwa memanfaatkan hewan untuk makanan, pakaian, pekerjaan, peliharaan, dan eksperimen sains diperbolehkan dan bahkan termasuk dalam martabat manusia sebagai penguasa (steward) yang menjaga ciptaan.
Terakhir, Katekismus dengan tegas menyatakan bahwa umat Katolik hendaknya tidak jatuh ke dalam salah satu ekstrem, yaitu entah menyiksa dan membunuh binatang secara tidak wajar, atau mencintai binatang secara berlebihan hingga menyamai kasih kepada sesama manusia.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa sementara hiburan gladiator yang sadis tidak sesuai dengan prinsip care of creation a la Katolik, mematikan serangga atau ular berbisa yang masuk ke dalam rumah dan membahayakan penghuni rumah juga tidak dilarang oleh ajaran Katolik.
Kesimpulan
Kembali ke permasalahan awal: bagaimana tanggapan yang sesuai ajaran Katolik untuk pernyataan kenalan saya “lebih lucu lagi melihat teman-teman membeli hewan di pasar lalu dilepaskan ke alam bebas, tapi sesudah itu masih memotong hewan lain untuk dijadikan bahan makanan” ?
Maka tanggapan yang benar adalah: hal itu sama sekali tidak lucu, tidak aneh, dan tidak kontradiktif menurut ajaran Katolik. Hewan-hewan kecil yang dijual di pasar untuk “mainan” tersebut seringkali disiksa atau tidak dirawat dengan benar, sehingga memang sudah selayaknya kita usahakan untuk dilepas ke alam bebas. Demikian pula jika kita terlibat dalam upaya-upaya penangkaran hewan dan konservasi lingkungan; hal-hal tersebut merupakan tindakan terpuji yang sesuai dengan mandat care of creation yang ditugaskan oleh Allah bagi kita manusia. Dan apabila anda melakukan itu semua sementara anda tetap makan daging hewan (dalam porsi dan batas sewajarnya agar tidak jatuh ke dalam dosa kerakusan), tentu saja anda tidak munafik.
Bagi anda umat Katolik yang ingin menjalani pola hidup vegetarian, lakukan pertimbangan yang masak (discernment) mengenai alasan atau motivasi yang mendasari keinginan anda. Apakah anda hanya mencoba hidup lebih sehat? Ataukah diam-diam pola pikir anda sudah terpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan Timur yang tidak sesuai dengan Iman Katolik? Selain karma dan reinkarnasi, anda juga perlu mempertimbangkan dengan jujur mengenai derajat hewan dan tumbuhan di mata anda: apakah martabat mereka di bawah anda, ataukah anda sudah menganggap mereka setara dengan manusia?
Ingat, tujuan tidak membenarkan cara: walaupun anda dan rekan anda yang Buddhis atau Hindu sama-sama vegetarian, namun motivasi bisa berbeda jauh dan itulah yang akan menentukan nilainya di hadapan Allah.
Untuk membantu anda melakukan discernment, berikut beberapa poin yang layak anda pertimbangkan:
- Apakah anda akan mengutamakan pola hidup vegetarian tersebut di atas segalanya, termasuk di atas kesehatan anda sendiri? Semisal, anda jatuh sakit dan dokter mengatakan bahwa anda perlu mengonsumsi protein hewani, apakah anda akan menerima atau menolak nasehat tersebut? Ingatlah sekali lagi bahwa ciptaan seharusnya melayani dan meringankan penderitaan manusia.
- Apakah anda lebih bangga dengan pola hidup vegetarian dibandingkan pola hidup yang biasa? Apakah anda memandang rendah orang-orang yang bukan vegetarian? (Hati-hati dengan dosa kesombongan)
- Apakah selain menjadi vegetarian anda juga memiliki keinginan lebih jauh untuk melindungi hewan dan tumbuhan, apapun dan bagaimanapun caranya dan dalam konteks apapun?
- Pikirkan juga bahwa jika anda menjadi vegetarian, berarti anda perlu menemukan bentuk pantang lainnya untuk dijalani pada Masa Prapaskah, dan sebaiknya juga pada hari Jumat sepanjang tahun sebagai tanda tobat pribadi.
* * * * *
Referensi:
[1] Vegetarian Society: World history of vegetarianism. https://www.vegsoc.org/sslpage.aspx?pid=830
[2] Ichaporia P. Vegetarianism in Zoroastrian Teachings.http://tenets.zoroastrianism.com/vege33.html
[3] Jain Food Restrictions. http://www.jainfoodie.com/jain-food-restrictions/
[4] Vegetarianism and Meat-Eating in 8 Religions.http://www.hinduismtoday.com/modules/smartsection/item.php?itemid=1541
[5] Vegetarianism and Meat-Eating in 8 Religions.http://www.hinduismtoday.com/modules/smartsection/item.php?itemid=1541
[6] Becoming a Trappist Monk or Nun.
http://www.trappists.org/visitor-questions/can-i-maintain-my-own-dietary-discipline-trappist (www.luxveritatis7.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment