Add caption |
Kata mercy (belas kasih) merupakan kata yang belakangan ini sering kita dengar, terutama oleh Paus Fransiskus yang mencanangkan tahun belas kasih (year of mercy), juga oleh mereka yang mendukung untuk memberikan Komuni bagi mereka yang bercerai dan kawin lagi, dengan alasan, bahwa Gereja haruslah berbelas kasih. Dengan demikian, mereka yang mendukung pemberian komuni tersebut mempertentangkan belas kasih dan keadilan.
Hal serupa juga terjadi dalam menghadapi persoalan hukuman mati. Mereka yang pro terhadap hukuman mati juga dilabel sebagai seseorang yang “tidak punya hati”. Mereka mengutip adegan Kitab Suci tentang Yesus yang tidak menghukum seorang wanita pezinah, yang kemudian menekankan bahwa Yesus adalah seorang yang penuh kasih, mudah mengampuni. Hal tersebut juga memberikan kesan seolah-olah, ada dikotomi atau pertentangan antara belas kasih dan keadilan. Padahal, bila dicermati lebih lanjut, dalam diri Yesus terpenuhi baik itu belas kasih dan keadilan, cinta kasih dan kebenaran, hukum dan kebebasan, dst.
St. Agustinus, seorang Bapa Gereja dan juga salah satu teolog besar Gereja, memberikan kita pencerahan tentang belas kasih dan keadilan yang terpenuhi dalam diri Yesus. Mari kita melihat apa yang diajarkan St. Agustinus mengenai perikop Yesus dan seorang wanita pezinah (uraian St. Agustinus diambil dari Tractate 33).
Perikop tersebut diawali oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang membawa seorang wanita, yang ketahuan berbuat zinah, ke hadapan Yesus. Mereka melakukan ini dengan niat yang buruk: yakni menguji sikap lembut Tuhan. Mereka berkata: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?”
Mereka berusaha untuk menjebak dan menuduh Yesus. Bila Yesus menyetujui agar wanita tersebut dilempari batu, Yesus akan menunjukkan bahwa Ia tidak bersikap lembut. Namun bila Yesus melepaskan wanita itu dari hukuman, maka orang Farisi dan ahli Taurat akan menuduh Yesus karena melanggar hukum, dan menjadikan dirinya musuh bagi hukum Taurat:
Yesus, yang telah membaca hati yang busuk dari orang Farisi dan ahli Taurat ini, akan menunjukkan bahwa Ia tetap bersikap lembut dan adil/benar:
Kita tahu apa yang menjadi jawaban Yesus: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” St. Agustinus menjelaskan, betapa jawaban ini penuh dengan keadilan dan belas kasih. Dengan menjawab demikian, maka Yesus menyerahkan persoalan ini kepada orang Farisi dan hali Taurat. Dari luar, mereka berdiri untuk menuduh, namun mereka tidak memeriksa batin mereka: mereka melihat seorang pezinah, tetapi tidak melihat ke dalam diri mereka. Mereka yang adalah seorang pelanggar hukum, menginginkan agar hukum dipenuhi:
Ada sebuah adegan ketika Yesus menulis di tanah. Menurut St. Agustinus, hukum ditulis dengan jari Allah, tetapi tertulis di atas batu karena kerasnya hati manusia. Tuhan kita menulis di tanah, karena Ia mencari buah dari hukum tersebut. Dengan demikian, Yesus mengundang orang Farisi dan ahli Taurat untuk masuk ke dalam diri mereka, berhadapan dengan hati nuraninya, agar mereka mengakui siapa mereka sesungguhnya.
Sekarang St. Agustinus menunjukkan aspek keadilan yang sering dilupakan dari perikop ini. Dengan berkata “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”, Yesus menyatakan keadilan dengan lantang: Biarlah pendosa itu dihukum, tetapi tidak oleh pendosa. Biarlah hukum dipenuhi, tetapi bukan oleh pelanggar hukum. Melalui suara keadilan ini, Yesus menembus batin mereka, layaknya sebuah panah yang menghujam tepat di sasarannya, yang menyingkapkan kemunafikan dan keberdosaan mereka. Setelah menyadari bahwa mereka adalah pendosa juga, hanya ada dua orang yang tetap tinggal di situ, yakni wanita pezinah dan Sang Belas Kasih.
Apakah ini berarti bahwa St. Agustinus hendak memberitahu kita, bahwa kita tidak seharusnya menghukum siapapun? Dalam suratnya kepada Magistrat Macedonius, St. Agustinus menggambarkan sikapnya secara umum: bahwa kita harus membenci dosa atau kejahatan dan mencintai orangnya, oleh karena itu penting sekali agar para pendosa dikoreksi dan mendapatkan hukuman.
Setelah mengusir musuhnya dengan lidah keadilan, sekarang Yesus memandang wanita tersebut dengan tatapan penuh belas kasih, dan terjadilah percakapan berikut
Perhatikan bahwa Yesus tidak mengutuk atau mencela pribadi/orangnya, melainkan yang dikutuk Yesus adalah dosanya. Oleh karena itulah Yesus berkata: pergilah dan jangan berbuat dosa lagi. Yesus tidak berkata, pergilah dan berbuatlah sesuka hatimu, dan aku akan membebaskanmu dari segala hukuman termasuk neraka.
Apa yang dikatakan St. Agustinus tentang mereka yang berhati keras dan tidak mau bertobat? Mereka ini menyimpan bagi diri mereka kemurkaan Tuhan, yang akan dijatuhkan pada hari angkara murka dan ketika Allah menyatakan penghakimannya yang benar dan adil, yang menilai setiap manusia berdasarkan perbuatannya. St. Agustinus juga menegaskan bahwa Tuhan memang lemah lembut dan berbelas kasih, namun Ia juga adalah kebenaran dan adil. Ia memberi kita kesempatan untuk memperbaiki diri, tetapi kita lebih menyukai penghakiman yang ditunda daripada memperbaiki jalan hidup kita.
Selanjutnya Agustinus mengajak kita untuk bertobat dan memperbaharui diri. Allah telah berjanji bahwa Ia akan mengampuni mereka yang bertobat dan memperbaiki kehidupannya. Pertobatan harus segera dilakukan, karena Allah tidak pernah menjanjinkan kepada setiap manusia, bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang panjang di dunia ini.
Agustinus juga memberikan peringatan kepada mereka yang berharap dengan berlebihan terhadap belas kasih Allah. “Siapa yang ditipu dengan berharap? Ia yang berkata, Allah itu baik, Allah itu berbelas kasih, biarkan aku melakukan apa yang aku senangi, apa yang aku suka, biarkan aku melonggarkan kendaliku terhadap nafsuku, biarkan aku memuaskan hasrat jiwaku. Mengapa? Karena Allah berbelas kasih, Allah itu baik. Mereka ini berada dalam bahaya karena harapan.” Sebuah teguran yang keras dari St. Agustinus, terhadap mereka yang di jaman modern ini juga menyuarakan hal yang sama!
Bagaimana Tuhan memperlakukan mereka yang berada dalam bahaya karena berharap secara berlebihan terhadap belas kasih Allah? Hanya pertobatan yang menjadi satu-satunya jalan, dan ini tidak boleh ditunda, karena bila murka Allah datang secara tiba-tiba, manusialah yang akan mengalami kehancuran.
Akhirnya, penjelasan St. Agustinus terhadap perikop Yesus dan wanita pezinah menunjukkan pada kita tidak hanya belas kasih, melainkan keadilan pun juga menjadi hal yang Yesus lakukan, dan keduanya tidaklah bertentangan. Seperti yang dikatakan Pemazmur, “Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya” (Mzm 25:10), “Keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Mu, kasih dan kesetiaan berjalan di depan-Mu” (Mzm 89:14).
Sekarang, saya melihat adanya kecenderungan untuk memisahkan kasih dari kebenaran, belas kasih dari keadilan, hukum dari kebebasan, dst. Tidak hanya di kalangan umat, di kalangan hirarki pun juga sangat mungkin ini terjadi. Inilah salah satu krisis yang terjadi dalam kehidupan beriman. Lalu, apa tanggapan kita?
Dalam diri Yesus, terpenuhilah belas kasih dan keadilan, karena keduanya adalah cara Allah dalam bekerja dan berhadapan dengan manusia. Dan ini juga lah yang senantiasa diperjuangkan oleh Gereja: bukan menceraikan yang satu dan meninggalkan yang lain, melainkan menyatukan keduanya dengan harmonis. Keadilan dan belas kasih, keduanya harus dipertemukan dan bercium-ciuman, agar semakin nyatalah kasih dan kebenaran Allah. (www.luxveritatis7.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment