Add caption |
Khotbah (sermon) merupakan salah satu aspek yang menonjol dalam kehidupan orang Kristen di abad pertengahan. Khotbah merupakan sarana dalam mengajar dan membujuk orang Kristen. Pada umumnya, sebagian besar khotbah dilakukan dalam konteks liturgis, namun ada juga khotbah yang didengar oleh orang awam di luar konteks tersebut.
Apakah tujuan dari pewartaan? Menurut St. Agustinus, tujuan utama pewartaan ialah untuk mengajar para pendengarnya. Banyak khotbah yang ditujukan bagi kaum awam bertujuan untuk mengajarkan ortodoksi, membantah kesesatan, dan menunjukkan bahaya paganisme. Selain itu, melalui khotbah, diharapkan agar mereka bertobat dan melakukan karya kasih.
Bentuk-bentuk khotbah patristik sebenarnya cukup bervariasi, hal ini terlihat dari berbagai istilah seperti homilia, exhortatio, admonitio, tractactus, sermo. Namun pada abad ke-12, istilah sermo yang semakin mendominasi dan mengalahkah istilah lainnya.
Warisan Bapa Gereja dalam Pewartaan Abad Pertengahan
Add caption |
St. Agustinus menjelaskan bahwa dalam menjelaskan simbol-simbol biblis, para pendengar harus dididik dalam hal apa yang baik dan yang jahat, sedangkan St. Gregorius lebih menekankan pada pengajaran ortodoksi teologis. Ia memberikan perhatian khusus pada identitas pewarta sebagai seorang pastor, gembala bagi kawanan dombanya, yang harus menjalankan hidupnya sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dengan demikian, kawanan domba yang meneladani gembalanya, dapat meniru teladan hidup yang diperlihatkan daripada kata-katanya.
Persamaan di antara St. Agustinus dan Gregorius ialah mereka menyadari adanya perbedaan di antara para pendengarnya. Jadi, perkataan yang sama dapat didengar dan diartikan secara berbeda oleh orang yang berbeda juga.
Pewartaan Monastik dan Bertumbuhnya Sekolah Abad Pertengahan
Pusat pendidikan di abad pertengahan terpusat pada dua sekolah, yakni sekolah monastik dan sekolah katedral. Edukasi dalam sekolah monastik dilakukan oleh para rahib yang mendidik anak-anak muda berusia 13 tahun dalam hal asketis dan spiritual pada awalnya. Mereka juga mendidik anak-anak miskin, yang nantinya sebagai balasan atas pendidikan tersebut, anak-anak ini diharuskan bekerja di biara.
Khotbah monastik diberikan oleh abbot atau oleh rahib yang ditunjuk oleh abbot. Khotbah ditujukan untuk pewartaan dan aktivitas membaca, baik secara pribadi maupun publik. Khotbah tersebut biasanya merupakan bagian dari liturgi komunitas, dapat digunakan juga dalam meditasi privat dan dibaca secara publik di refectory (sebutan untuk ruang makan di biara). Konten khotbah monastik cenderung mengarah ke dalam, yakni ke dalam komunitas monastik tertuju pada perkembangan rohani para rahib atau biarawati kontemplatif.
Meskipun demikian, ada juga pewarta monastik yang berkhotbah secara publik, seperti St. Bernard dari Klairvaux yang mendukung perang salib dan melawan kesesatan dalam khotbahnya.
Lalu ada juga sekolah katedral yang dikelola oleh uskup setempat. Sekolah katedral ini terbagi dua, yakni sekolah minor (mengajarkan kegiatan membaca, menulis, dan menyanyikan Mazmur) dan sekolah mayor (yang mengajarkan pelajaran seperti retorika, logika, geometri, astronomi, dst yang dikenal dengan nama tujuh pelajaran liberal arts). Sekolah katedral ini ada karena adanya kebutuhan untuk menghasilkan klerus yang berpendidikan tidak hanya dalam hal rohani dan teologis, melainkan juga dalam hal-hal yang sifatnya sekuler.
Melalui kedua jenis sekolah ini, kemudian berkembang apa yang sekarang disebut universitas. Dulu, yang namanya universitas adalah perkumpulan atau pertemuan yang diadakan antara guru (master) dan beberapa orang murid yang hendak mempelajari topik tertentu. Pertemuan tersebut bisa diadakan di rumah atau di tempat lain, karena saat itu belum ada gedung khusus yang disebut sebagai universitas. Setelah beberapa waktu, barulah muncul kebutuhan untuk membangun gedung yang fungsinya utamanya ialah mengajar, yang dikenal sebagai universitas. Pada masa itu, beberapa kota di Eropa menjadi pusat studi, seperti Paris (pusat ilmu filsafat dan teologi) dan Bologna (pusat ilmu hukum).
Pada tahun 1215, diadakan Konsili Lateran IV oleh Paus Inosensius III yang bertujuan untuk menggalakkan pembaharuan yang melibatkan para pewarta. Untuk melaksanakan pembaharuan, para pewarta diharapkan untuk mengajarkan kepada kaum awam melalui khotbah, dan menunjukkan kepada mereka cara menghindari dosa dengan menjalani hidup yang saleh. Untuk membantu para pewarta, maka disusunlah buku pedoman bagi konfesor. Tidak hanya itu, para pewarta juga harus menggunakan salah satu karya teologis berjudul Sentences yang ditulis oleh Peter Lombard. Sentences merupakan buku manual teologi yang digunakan di universitas saat itu. Siapapun yang mempelajari teologi, seperti St. Thomas Aquinas dan St. Bonaventura, diharuskan untuk membuat komentar terhadap Sentences karya Peter Lombard.
Dengan adanya keberadaan universitas, maka mulai muncul buku-buku yang berisi tentang komentar biblis terhadap ayat-ayat Kitab Suci. Tidak hanya itu, pewartaan pun menjadi lebih kompleks karena adanya perpaduan antara teologi, filsafat dan ilmu pengetahuan. Pewartaan pun mulai mengambil bentuk yang lebih formal dalam konteks akademis.
Pewartaan Fransiskan dan Dominikan di Abad Pertengahan
Bila kita berbicara tentang abad pertengahan, maka kita tidak bisa memisahkannya dari kemunculan dua ordo mendikan yang juga memiliki kontribusi dalam pewartaan, yakni Ordo Fransiskan dan Ordo Dominikan. Ordo Fransiskan yang didirikan oleh St. Fransiskus Asisi juga memiliki aspek pewartaan sebagai bagian integral dari Ordonya. Fransiskan menekankan bentuk pewartaan terutama melalui perbuatan dan gaya hidup yang sederaha, benar, dan berpusat pada Kristus. Gaya hidup yang seperti inilah yang akan membuat pewartaan menjadi efektif.
Setelah kematian St. Fransiskus, Ordo Fransiskan mulai mengalami proses pembentukan sebagai institusi, dan karenanya mulai memperluas pemahamannya tentang pewartaan, terutama karena mulai berkembangnya pemikiran skolastik. Pewartaan yang awalnya bersifat sederhana kemudian dinikahkan dengan pemikiran skolastik yang kompleks. Hal ini terwujud dalam diri teolog Fransiskan yang juga merupakan teman dari teolog Dominikan St. Thomas Aquinas, yakni St. Bonaventura. Ia menggabungkan seni pewartaan dengan kehidupan akademisnya di universitas. Selain itu, terdapat pula tokoh Fransiskan yang mewartakan di luar konteks universitas, seperti St. Antonius dari Padua, dan seorang peniten wanita awam, yakni St. Margaret Corona yang mewartakan di tempat publik.
Add caption |
Add caption |
Salah satu buku penting bagi para pewarta Dominikan adalah Legenda Aurea (Legenda Emas), ditulis oleh James of Voragine, Uskup Agung Genoa, yang juga seorang skolar Dominikan. Buku tersebut merupakan kumpulan kisah hidup (hagiografi) orang kudus yang sangat terkenal di jaman itu. Selain itu, James juga menulis kumpulan sermon yang mengikuti kalender liturgi. Sermon dan hagiografi tersebut dimaksudkan untuk menjangkau pendengar yang sama dengan tujuan yang sama, yakni meneladani kebajikan orang kudus dalam kehidupan Kristiani. Menurut James, hal tersebut merupakan dasar bagi pendakian rohani menuju persatuan dengan Allah.
Artikel tersebut ditulis berdasarkan artikel berjudul “A History of Medieval Christian Preaching as Seen in the Manuscripts of Houghton Library”. www.luxveritatis7.wordpress.com
No comments:
Post a Comment