Tuesday, February 16, 2016

TENTANG CINTA SEJATI

The Lovers, Henri Martin.
Add caption
“Akal budi berbicara dalam kata-kata semata, tetapi cinta memiliki sebuah lagu.”
– Joseph de Maistre
Kita hidup di dalam zaman yang dipenuhi kebingungan. Bahkan dapat dikatakan bahwa kita tidak hanya berada dalam kebingungan intelektual tetapi juga dalam kebingungan afektif. Banyak yang tidak tahu bagaimana mengukur emosi mereka; mereka tidak bisa membedakan antara perasaan-perasaan yang valid dan tidak valid. Mereka tidak tahu secara pasti apakah mereka sungguh jatuh cinta ataukah mereka dihidupi oleh angan-angan dan mempercayakan diri mereka dalam cinta karena mereka mendambakan kegirangan yang meluap-luap yang diberikan cinta. Mereka merancukan antara “mencintai” dengan memiliki seorang yang disuka, atau “memilah” (discernment) selamanya tanpa sampai pada pengambilan keputusan.

Saya tentu tidak dapat menjawab semua pertanyaan, namun yang dapat saya lakukan adalah menawarkan beberapa “rambu-rambu” yang mungkin bisa membantu ketika orang bertanya: Apakah saya sedang jatuh cinta atau tidak?
Pengalaman-pengalaman besar biasanya datang sebagai kejutan, hadiah yang luar biasa, yang sama sekali bukan merupakan buah dari usaha manusia atau perencanaan. Mereka melanda kita, dan tanggapan pertama kita adalah: “Saya tidak layak menerima hadiah yang demikian. Dia jauh lebih baik daripada diriku sendiri.” Hati kita dikuasai dengan rasa syukur, rasa syukur yang membuat kita rendah hati. Kita merasa tidak layak atas hadiah tersebut, yang tampaknya membangkitkan kita dari tidur nyenyak kita. Tidak diragukan lagi, orang yang jatuh cinta “sungguh memulai hidup.” Orang yang tidak pernah mencintai, hidupnya ada dalam keadaan berjalan sambil tidur dan bergerak sebagai robot yang menjalankan tugas sehari-hari dengan hati yang tumpul — hati yang tampaknya tidak berdetak.
Ketika jatuh cinta, kita mengalami sukacita yang mendalam, yang sekaligus bersemangat dan tenang, seperti semak belukar yang terbakar; namun hasrat ini tidaklah merusak, dan ia ditandai dengan rekoleksi mendalam. Hal ini berasal dari inti keberadaan kita. Betapa berbedanya hal ini ketimbang kegirangan lantang yang meluap-luap pada orang-orang yang mengalami luapan emosi yang tidak berasal dari kedalaman diri mereka dan, seperti api yang membakar jerami, yang bersinar terang untuk sementara waktu tetapi lekas padam.
Hati tidak hanya berkobar, tetapi api ini juga memiliki efek yang melelehkan. Kita merasa seolah-olah ada sebuah kebaikan yang tidak berasal dari dalam kita, namun menguasai diri kita. Dietrich von Hildebrand berbicara tentang “kebaikan yang berubah-ubah” dari hati yang penuh kasih.
Cinta sejati membuat kekasih menjadi lebih indah; ia memancarkan sukacita. Jika hal ini tidak terjadi, kita dapat semakin meragukan apakah ia sungguh sedang jatuh cinta. Seseorang berkata dalam bahasa Perancis: “Un saint triste est un triste suci” – seorang kudus yang muram adalah orang kudus yang menyedihkan. Demikian pula, “kekasih” yang sedih harus mempertanyakan apakah ia sungguh mencintai. Tugas-tugas kecil sehari-hari yang sederhana dilakukan dengan sukacita, karena baik mereka dilakukan “bersama dia”, atau karena mereka menjadi tindakan pelayanan kasih.
Cinta sejati membuat orang rendah hati. Seketika itu, kelemahan, penderitaan, dan ketidaksempurnaan kita muncul dalam pikiran kita, tetapi tanpa efek yang memberikan depresi. Kita melihat kesalahan kita dengan niat untuk mengungkapnya kepada orang yang dicintai, dan penyingkapan ini ditambah dengan keinginan untuk meminta bantuannya dalam mengatasi kesalahan kita. Kita ingin mengungkap diri kita secara rohani dengan cara yang murni, supaya sungguh dikenal oleh orang yang kita cintai; kita takut menipu orang yang kita cintai, membuatnya percaya bahwa kita lebih baik ketimbang jati diri kita sebenarnya. Kita merasa bahwa orang yang dicintai berhak mengetahui “jati diri kita yang sebenarnya” dan juga karikatur tentang diri kita.
Cinta juga terkait dengan realisme yang suci. Keindahan dari pihak yang dicintai muncul di depan kita, tetapi  tanpa adanya ilusi; keindahannya bukanlah buah dari angan-angan, tetapi suatu visi yang nyata – seperti pada Gunung Tabor – yang mana sang kekasih haruslah tetap setia kepadanya, berpegang pada visi tersebut sekalipun ia dapat meredup oleh karena tugas sehari-hari yang membosankan.
Sang kekasih akan selalu bersedia memberikan pada seseorang yang dicintai, apa yang disebut Dietrich von Hildebrand sebagai “kepercayaan berlandaskan cinta” – yaitu, ketika pihak yang dikasihi bertindak dengan cara yang tidak kita mengerti atau mengecewakan kita, dan bukannya mengutuk dia, malahan sang kekasih akan percaya bahwa, dalam kehidupan manusia yang kompleks seperti itu, tindakannya dapat dibenarkan, meskipun pada pandangan pertama bagi kita tindakan itu patut disesalkan. Kekasih sejati bersemangat mencari “pembenaran” saat perilaku orang yang ia cintai mengecewakan dirinya. Dia secara hati-hati menahan diri agar tidak terlalu percaya diri dalam menyalahkan perilaku orang lain, karena tetap merasa bingung pada pandangan pertama. Namun dia bersukacita setelah mengetahui bahwa dia salah.
Betapa menyedihkannya, dalam judul drama Shakespeare berjudul Cymbeline, ketika Posthumus diberitahu oleh bajingan Iachimo bahwa istrinya, Imogene, telah mengkhianatinya, ia mempercayai si pemfitnah ini, meskipun sebelumnya ia memiliki bukti yang cukup bahwa Imogene mencintainya dan ia tetap murni atau tak bersalah. Drama ini memiliki akhir yang bahagia, tapi drama ini menggambarkan kepahitan, kemarahan, dan keputusasaan secara kuat dari seseorang yang percaya orang yang dicintainya, orang yang citra sejatinya adalah sumber sukacitanya, telah mengkhianatinya.
Kita dapat mengatakan bahwa kita sungguh mencintai ketika rasa ketidaksabaran, rasa tak mau bersyukur, atau “kekasaran” (dengan kata lain, ketika keindahan sejatinya tersembunyi) dari orang yang kita kasihi menyebabkan kesedihan besar bagi kita, karena ia sedang menodai pakaian yang indah dan menyajikan kita dengan suatu karikatur dari wajahnya yang sebenarnya, ketimbang karena ia telah melukai kita. Hal yang terpenting, kekasih sejati merasa sedih karena orang yang dicintai telah menghina Tuhan. Berdasarkan prioritasnya, pelanggaran terhadap Allah adalah sumber utama dari kesedihan; kesakitan yang telah ia lakukan untuk jiwanya yang terkasih adalah hal yang kedua; dan yang terakhir — meskipun sangat menyakitkan — merupakan luka yang ia goreskan pada orang yang mencintainya secara mendalam.
Kekasih sejati lebih memperhatikan seseorang yang dicintainya — apapun yang sungguh menguntungkan jiwanya yang terkasih — ketimbang dirinya sendiri. Oleh karena itu, kesiapan untuk berkorban baginya dalam banyaknya hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, yang mana selera masing-masing orang berbeda: yang satu menginginkan ruang yang sangat hangat atau dingin; makan di rumah atau di restoran; pergi ke pertandingan sepak bola atau tinggal di rumah; menonton program televisi ketika pasangan kita ingin menonton satu sama lain, dan sebagainya. Rasa mengalah harus dibatasi pada kasus-kasus yang bersifat subjektif, tentu saja, dan tidak pernah diperpanjang pada hal-hal yang bersifat prinsip. Namun, kita semua tahu pasangan sering diperlakukan buruk oleh suami (atau istri mereka) yang begitu khawatir tentang kesejahteraan abadi dari orang yang dicintai sehingga mereka menerima semua penderitaan ini, untuk mempersembahkannya demi diri orang yang dicintainya.
Tanda yang agung akan cinta sejati adalah kesabaran penuh kasih, yang dimiliki seseorang terhadap kelemahan-kelemahan seseorang yang dicintai. Hal ini termasuk segala keanehannya, temperamennya, tingkah lakunya (kita semua memiliki hal-hal itu); hal itu mencakup juga kelemahan fisiknya, keanehan psikologisnya, ketidakmampuan intelektualnya mengikuti alur penalaran; segala gangguan kepribadiannya, atau fanatismenya akan keteraturan. Jika seorang biarawan terus diberikan kesempatan untuk “mematikan kehendaknya sendiri (sebagaimana dikatakan St Benediktus), hal yang sama berlaku juga pada pernikahan. Kardinal John Henry Newman menulis bahwa bahkan dalam hubungan manusia yang terdalam, ketika cinta merupakan hal yang otentik, kehidupan pada umumnya akan memberikan seseorang banyak kesempatan untuk membuktikan cintanya dengan mengorbankan preferensinya.
Segala perilaku, keanehan, suasana hati; kelemahan fisik, kelemahan psikologis, dan kelemahan intelektual diartikan secara positif sesegera mungkin atau ditanggung dengan kesabaran. St Benediktus menulis tentang para biarawan yang berjuang untuk hidup suci, yang kendati demikian, hidupnya hampir pasti menyebabkan gangguan bagi mereka yang tinggal dekat dengan mereka. “Biarkan mereka menanggung dengan kesabaran tertinggi kelemahan satu sama lain, entah kelemahan jasmani ataupun karakter” (Peraturan Suci, pasal 72).
Sejarah dari Suatu Jiwa (autobiografi St. Theresia dari Lisieux), dari sudut pandang ini, juga merupakan harta spiritual. St Theresia dari Lisieux jelas banyak menderita dikarenakan kurangnya pendidikan dan sopan santun beberapa biarawati lainnya. Dia mempelajari cara yang kudus, yakni dengan menggunakan setiap gangguan untuk kemuliaan Allah, termasuk suara yang menyiksa saraf yang dibuat seorang suster lain di ruangan sebelah dari ruangan St Therese, yang dahulu mencegahnya berdoa dan merenung. Namun, Thérèse keluar sebagai pemenang melalui cinta.
Secara mengejutkan, hal ini juga dapat membawa kebahagiaan bagi pernikahan yang terbaik, meskipun ia yang kita cintai telah melukai hati kita. Seorang kekasih sejati yang cintanya telah “dibaptis” akan menggunakan pengorbanan sepele seperti yang mereka lakukan di Abad Pertengahan, ketika seniman menggunakan beberapa bagian kecil dari wol yang mahal untuk membuat permadani yang luar biasa.
Kekasih sejati selalu siap berkata “terima kasih”. Juga mudah baginya untuk berkata “maafkan aku,” karena dalam hubungan terbaik, salah satu pihak pasti jatuh dalam kesalahan. Jika seseorang membayangkan bahwa ia dapat menemukan dirinya dalam situasi ketika dia tidak akan pernah melakukan kesalahan, orang itu seharusnya tidak menikah, atau memiliki anak, atau masuk biara. Seni yang kudus dalam menjalani hidup adalah mengetahui bahwa kita akan membuat kesalahan, mengakui kesalahan-kesalahan itu, bertobat, dan, dengan rahmat Allah, memiliki kesiapan untuk berubah.
Secara bersamaan, adalah penting bahwa kedua kekasih mengakui kesalahan mereka. Kita semua tahu kasus-kasus ketika salah satu kekasih selalu kritis terhadap yang lain dan mudah lupa bahwa “kesiapan untuk berubah” haruslah timbal balik, dan bahwa ia juga dipengaruhi oleh dosa asal.
Karakteristik lain dari cinta sejati adalah bahwa orang yang dicintai adalah “secara luar biasa” selalu bersama kita; dia selalu ada, bahkan ketika kita sibuk oleh suatu kewajiban. Ia menciptakan kerangka bagi pemikiran kita (setelah Allah). Sama seperti iman kepada Allah dan kasih kepada Allah harus selalu menjadi latar belakang semua pikiran dan tindakan kita, maka orang yang dicintai selalu bersama kita; yaitu, segala sesuatu yang terjadi tidak pernah tak berhubungan dengan cinta kita.
Sang kekasih merasakan dorongan yang suci untuk mengatakan “terima kasih” dan “maafkan aku.” Hal ini mengalir dari hatinya tanpa usaha. Kekasih sejati mengalami kebenaran dalam kata-kata dalam Kidung Agung: Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia tidak akan menganggap semuanya itu. (Kid 8:7). Alice von Hildebrand (luxveritatis7.wordpress.com)

No comments:

Post a Comment